Senin, 19 Maret 2012

5 Imunisasi Wajib Untuk Bayi dan efek sampingnya

Inilah 5 jenis imunisasi yang wajib diperoleh bayi sebelum usia setahun. Penyakit-penyakit yang hendak ditangkalnya memiliki angka kesakitan dan kematian yang tinggi, selain bisa menimbulkan kecacatan.

1. IMUNISASI BCG
Ketahanan terhadap penyakit TB (Tuberkulosis) berkaitan dengan keberadaan virus tubercle bacili yang hidup di dalam darah. Itulah mengapa, agar memiliki kekebalan aktif, dimasukkanlah jenis basil tak berbahaya ini ke dalam tubuh, alias vaksinasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin).
Seperti diketahui, Indonesia termasuk negara endemis TB (penyakit TB terus-menerus ada sepanjang tahun) dan merupakan salah satu negara dengan penderita TB tertinggi di dunia. TB disebabkan kuman Mycrobacterium tuberculosis, dan mudah sekali menular melalui droplet, yaitu butiran air di udara yang terbawa keluar saat penderita batuk, bernapas ataupun bersin. Gejalanya antara lain: berat badan anak susah bertambah, sulit makan, mudah sakit, batuk berulang, demam dan berkeringat di malam hari, juga diare persisten. Masa inkubasi TB rata-rata berlangsung antara 8-12 minggu.

Untuk mendiagnosis anak terkena TB atau tidak, perlu dilakukan tes rontgen untuk mengetahui adanya vlek, tes Mantoux untuk mendeteksi peningkatan kadar sel darah putih, dan tes darah untuk mengetahui ada-tidak gangguan laju endap darah. Bahkan, dokter pun perlu melakukan wawancara untuk mengetahui, apakah si kecil pernah atau tidak, berkontak dengan penderita TB.
Jika anak positif terkena TB, dokter akan memberikan obat antibiotik khusus TB yang harus diminum dalam jangka panjang, minimal 6 bulan. Lama pengobatan tak bisa diperpendek karena bakteri TB tergolong sulit mati dan sebagian ada yang “tidur”. Karenanya, mencegah lebih baik daripada mengobati. Selain menghindari anak berkontak dengan penderita TB, juga meningkatkan daya tahan tubuhnya yang salah satunya melalui pemberian imunisasi BCG.
* Jumlah Pemberian:
Cukup 1 kali saja, tak perlu diulang (booster). Sebab, vaksin BCG berisi kuman hidup sehingga antibodi yang dihasilkannya tinggi terus. Berbeda dengan vaksin berisi kuman mati, hingga memerlukan pengulangan.
* Usia Pemberian:
Di bawah 2 bulan. Jika baru diberikan setelah usia 2 bulan, disarankan tes Mantoux (tuberkulin) dahulu untuk mengetahui apakah si bayi sudah kemasukan kuman Mycobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil tesnya negatif. Jika ada penderita TB yang tinggal serumah atau sering bertandang ke rumah, segera setelah lahir si kecil diimunisasi BCG
* Lokasi Penyuntikan:
Lengan kanan atas, sesuai anjuran WHO. Meski ada juga petugas medis yang melakukan penyuntikan di paha.
* Efek Samping:
Umumnya tidak ada. Namun pada beberapa anak timbul pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak atau leher bagian bawah (atau di selangkangan bila penyuntikan dilakukan di paha). Biasanya akan sembuh sendiri.
* Tanda Keberhasilan:
Muncul bisul kecil dan bernanah di daerah bekas suntikan setelah 4-6 minggu. Tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi panas. Bisul akan sembuh sendiri dan meninggalkan luka parut.
Jikapun bisul tak muncul, tak usah cemas. Bisa saja dikarenakan cara penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu keahlian khusus karena vaksin harus masuk ke dalam kulit. Apalagi bila dilakukan di paha, proses menyuntikkannya lebih sulit karena lapisan lemak di bawah kulit paha umumnya lebih tebal.
Jadi, meski bisul tak muncul, antibodi tetap terbentuk, hanya saja dalam kadar rendah. Imunisasi pun tak perlu diulang, karena di daerah endemis TB, infeksi alamiah akan selalu ada. Dengan kata lain, anak akan mendapat vaksinasi alamiah.
* Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau menunjukkan Mantoux positif.

2. Imunisasi Hepatitis B
Lebih dari 100 negara memasukkan vaksinasi ini dalam program nasionalnya. Apalagi Indonesia yang termasuk negara endemis tinggi penyakit hepatitis. Jika menyerang anak, penyakit yang disebabkan virus ini sulit disembuhkan. Bila sejak lahir telah terinfeksi virus hepatitis B (VHB), dapat menyebabkan kelainan-kelainan yang dibawanya terus hingga dewasa. Sangat mungkin terjadi sirosis atau pengerutan hati (kerusakan sel hati yang berat). Bahkan yang lebih buruk bisa mengakibatkan kanker hati.
Banyak jalan masuknya VHB ke tubuh si kecil. Yang potensial melalui jalan lahir. Bisa sejak dalam kandungan sudah tertular dari ibu yang mengidap hepatitis B atau saat proses kelahiran. Cara lain melalui kontak dengan darah penderita, semisal transfusi darah.
Bisa juga melalui alat-alat medis yang sebelumnya telah terkontaminasi darah dari penderita hepatitis B, seperti jarum suntik yang tidak steril atau peralatan yang ada di klinik gigi. Bahkan juga lewat sikat gigi atau sisir rambut yang digunakan antaranggota keluarga.
Malangnya, tak ada gejala khas yang tampak secara kasat mata. Bahkan oleh dokter sekalipun. Fungsi hati kadang tak terganggu meski sudah mengalami sirosis.
Tidak cuma itu. Anak juga terlihat sehat, nafsu makannya baik, berat tubuhnya pun naik dengan bagus pula. Penyakitnya baru ketahuan setelah dilakukan pemeriksaan darah. Gejala baru tampak begitu hati si penderita tak mampu lagi mempertahankan metabolisme tubuhnya.
Upaya pencegahan adalah langkah terbaik. Jika ada salah satu anggota keluarga dicurigai kena VHB, biasanya dilakukan screening terhadap anak-anaknya untuk mengetahui apakah membawa virus atau tidak. Pemeriksaan harus dilakukan kendati anak tak menunjukkan gejala sakit apa pun. Selain itu, imunisasi merupakan langkah efektif untuk mencegah masuknya VHB.
* Jumlah Pemberian:
Sebanyak 3 kali, dengan interval 1 bulan antara suntikan pertama dan kedua, kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.
* Usia Pemberian:
Sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir. Dengan syarat, kondisi bayi stabil, tak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Dilanjutkan pada usia 1 bulan, dan usia antara 3-6 bulan. Khusus bayi yang lahir dari ibu pengidap VHB, selain imunisasi yang dilakukan kurang dari 12 jam setelah lahir, juga diberikan imunisasi tambahan dengan imunoglobulin antihepatitis B dalam waktu sebelum berusia 24 jam.
* Lokasi Penyuntikan:
Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler. Sedangkan pada bayi di paha lewat anterolateral (antero = otot-otot di bagian depan; lateral = otot bagian luar). Penyuntikan di bokong tak dianjurkan karena bisa mengurangi efektivitas vaksin.
* Efek Samping:
Umumnya tak terjadi. Jikapun ada (kasusnya sangat jarang), berupa keluhan nyeri pada bekas suntikan, yang disusul demam ringan dan pembengkakan. Namun reaksi ini akan menghilang dalam waktu dua hari.
* Tanda Keberhasilan:
Tak ada tanda klinis yang dapat dijadikan patokan. Namun dapat dilakukan pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan darah dengan mengecek kadar hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila kadarnya di atas 1000, berarti daya tahannya 8 tahun; di atas 500, tahan 5 tahun; di atas 200, tahan 3 tahun. Tetapi kalau angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya nol berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.
* Tingkat Kekebalan:
Cukup tinggi, antara 94-96%. Umumnya, setelah 3 kali suntikan, lebih dari 95% bayi mengalami respons imun yang cukup.
* Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita sakit berat.

3. Imunisasi Polio
Belum ada pengobatan efektif untuk membasmi polio. Penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan virus poliomyelitis yang sangat menular. Penularannya bisa lewat makanan/minuman yang tercemar virus polio.
Bisa juga lewat percikan ludah/air liur penderita polio yang masuk ke mulut orang sehat.
Virus polio berkembang biak dalam tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus, lalu masuk ke aliran darah dan akhirnya ke sumsum tulang belakang hingga bisa menyebabkan kelumpuhan otot tangan dan kaki. Bila mengenai otot pernapasan, penderita akan kesulitan bernapas dan bisa meninggal.
Masa inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah demam 2-5 hari, umumnya akan mengalami kelumpuhan mendadak pada salah satu anggota gerak. Namun tak semua orang yang terkena virus polio akan mengalami kelumpuhan, tergantung keganasan virus polio yang menyerang dan daya tahan tubuh si anak. Nah, imunisasi polio akan memberikan kekebalan terhadap serangan virus polio.
* Jumlah Pemberian:
Bisa lebih dari jadwal yang telah ditentukan, mengingat adanya imunisasi polio massal. Namun jumlah yang berlebihan ini tak akan berdampak buruk. Ingat, tak ada istilah overdosis dalam imunisasi!
* Usia Pemberian:
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DTP.
* Cara Pemberian:
Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah air, yang digunakan adalah OPV.
* Efek Samping:
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang.
* Tingkat Kekebalan:
Dapat mencekal hingga 90%.
* Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di atas 380C); muntah atau diare; penyakit kanker atau keganasan; HIV/AIDS; sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum; serta anak dengan mekanisme kekebalan terganggu.

4. Imunisasi DTP
Dengan pemberian imunisasi DTP, diharapkan penyakit difteri, tetanus, dan pertusis, menyingkir jauh dari tubuh si kecil. Kekebalan segera muncul seusai diimunisasi.
* Usia & Jumlah Pemberian:
Sebanyak 5 kali; 3 kali di usia bayi (2, 4, 6 bulan), 1 kali di usia 18 bulan, dan 1 kali di usia 5 tahun. Selanjutnya di usia 12 tahun, diberikan imunisasi TT
* Efek Samping:
Umumnya muncul demam yang dapat diatasi dengan obat penurun panas. Jika demamnya tinggi dan tak kunjung reda setelah 2 hari, segera bawa si kecil ke dokter. Namun jika demam tak muncul, bukan berarti imunisasinya gagal, bisa saja karena kualitas vaksinnya jelek, misal.
Untuk anak yang memiliki riwayat kejang demam, imunisasi DTP tetap aman. Kejang demam tak membahayakan, karena si kecil mengalami kejang hanya ketika demam dan tak akan mengalami kejang lagi setelah demamnya hilang. Jikapun orangtua tetap khawatir, si kecil dapat diberikan vaksin DTP asesular yang tak menimbulkan demam. Kalaupun terjadi demam, umumnya sangat ringan, hanya sekadar sumeng.
* Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan kepada mereka yang kejangnya disebabkan suatu penyakit seperti epilepsi, menderita kelainan saraf yang betul-betul berat atau habis dirawat karena infeksi otak, dan yang alergi terhadap DTP. Mereka hanya boleh menerima vaksin DT tanpa P karena antigen P inilah yang menyebabkan panas.
Penyakit DTP yang BERBAHAYA
1. Difteri
Penyakit yang disebabkan kuman Corynebacterium diphtheriae ini, gejalanya mirip radang tenggorokan, yaitu batuk, suara serak, dan tenggorokan sakit. Namun, difteri tak disertai panas sebagaimana yang terjadi pada radang tenggorokan. Gejala lain difteri adalah kesulitan bernapas (leher seperti tercekik dan napas berbunyi), sehingga wajah dan tubuh membiru, serta adanya lapisan putih pada lidah dan bibir.
Bakteri penyebab difteri ditularkan saat batuk, bersin, atau kala berbicara. Masa inkubasinya 1-6 hari. Penderita harus mendapatkan perawatan di rumah sakit dalam waktu cukup lama, sekitar 2-3 minggu, dan baru boleh pulang setelah penyakitnya benar-benar hilang 100%. Soalnya, difteri bisa kambuh lagi kalau belum betul-betul sembuh.
2. Tetanus
Disebabkan oleh bakteri Clostridium Tetani, penyakit ini berisiko menyebabkan kematian. Infeksi tetanus bisa terjadi karena luka, sekecil apa pun luka itu. Tetanus rawan menyerang bayi baru lahir, biasanya karena tindakan atau perawatan yang tidak steril.
Gejala-gejala yang tampak antara lain kejang otot rahang, rasa sakit dan kaku di leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha. Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik untuk mematikan kuman, antikejang untuk merilekskan otot-otot, dan antitetanus untuk menetralisir toksinnya.
3. Pertusis
Disebut juga kinghoest, batuk rejan, atau batuk 100 hari lantaran batuknya memang berlangsung lama, bisa sampai 3 bulan. Penyakit ini mudah sekali menular melalui udara yang mengandung bakteri Bordetella pertussis. Masa inkubasinya 6-20 hari.
Gejala awalnya seperti flu biasa, yaitu demam ringan, batuk, dan pilek, yang berlangsung selama 1-2 minggu. Kemudian, gejala batuknya mulai nyata dan kuat, batuk panjang secara terus-menerus yang berbeda dengan batuk biasa. Tak jarang, karena kuatnya batuk ini, anak bisa sampai menungging-nungging, muntah-muntah, mata merah, berair, dan napasnya susah. Gejalanya sangat berat. Bahkan beberapa penderita bisa mengalami perdarahan. Setelah 2-4 minggu berlalu, batuk mulai berkurang dan kondisi anak mulai pulih.
Penderita akan diberi obat antibiotik untuk mematikan kuman, dan obat untuk mengurangi/menghentikan batuknya. Istirahat yang cukup, banyak minum, dan konsumsi makanan bergizi akan membantu mempercepat kesembuhan.
5. Imunisasi Campak
Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun seiring bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh antibodi tambahan lewat pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit campak mudah menular, dan mereka yang daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali terserang penyakit yang disebabkan virus Morbili ini. Untungnya, campak hanya diderita sekali seumur hidup. Jadi, sekali terkena campak, setelah itu biasanya tak akan terkena lagi.
Penularan campak terjadi lewat udara atau butiran halus air ludah (droplet) penderita yang terhirup melalui hidung atau mulut. Pada masa inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari, gejalanya sulit dideteksi. Setelah itu barulah muncul gejala flu (batuk, pilek, demam), mata kemerah-merahan dan berair, si kecil pun merasa silau saat melihat cahaya. Kemudian, di sebelah dalam mulut muncul bintik-bintik putih yang akan bertahan 3-4 hari. Beberapa anak juga mengalami diare.
Satu-dua hari kemudian timbul demam tinggi yang turun naik, berkisar 38-40,5°C. Seiring dengan itu, barulah keluar bercak-bercak merah yang merupakan ciri khas penyakit ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi juga tak terlalu kecil. Awalnya hanya muncul di beberapa bagian tubuh saja seperti kuping, leher, dada, muka, tangan dan kaki. Dalam waktu 1 minggu, bercak-bercak merah ini akan memenuhi seluruh tubuh. Namun bila daya tahan tubuhnya baik, bercak-bercak merah ini hanya di beberapa bagian tubuh saja dan tidak banyak.
Jika bercak merah sudah keluar, umumnya demam akan turun dengan sendirinya. Bercak merah pun akan berubah jadi kehitaman dan bersisik, disebut hiperpigmentasi. Pada akhirnya bercak akan mengelupas atau rontok atau sembuh dengan sendirinya. Umumnya, dibutuhkan waktu hingga 2 minggu sampai anak sembuh benar dari sisa-sisa campak. Dalam kondisi ini, tetaplah meminum obat yang sudah diberikan dokter. Jaga stamina dan konsumsi makanan bergizi. Pengobatannya bersifat simptomatis, yaitu mengobati berdasarkan gejala yang muncul. Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang efektif mengatasi virus campak.
Jika tak ditangani dengan baik campak bisa sangat berbahaya. Bisa terjadi komplikasi, terutama pada campak yang berat. Ciri-ciri campak berat, selain bercaknya di sekujur tubuh, gejalanya tidak membaik setelah diobati 1-2 hari. Komplikasi yang terjadi biasanya berupa radang paru-paru (broncho pneumonia) dan radang otak (ensefalitis). Komplikasi inilah yang umumnya paling sering menimbulkan kematian pada anak.
Usia & Jumlah Pemberian:
Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan, pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR (Measles Mumps Rubella).
Efek Samping:
Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bisa menyebabkan demam dan diare, namun kasusnya sangat kecil. Biasanya demam berlangsung seminggu. Kadang juga terdapat efek kemerahan mirip campak selama 3 hari.

Bagaimana Efek Imunisasi? perlukah imunisai?

Para Ibu, Jangan Takut Efek Imunisasi!

Berkembangnya isu tentang efek samping imunisasi yang menyebabkan demam, kejang, bengkak di sekitar suntikan hingga autis menyebabkan banyak ibu enggan mengimunisasikan bayinya. Padahal, dengan imunisasi bayi bakal terbebas dari beberapa penyakit mematikan seperti pnemunoia, diare dan tetanus.
Padahal "Efek samping seperti demam, kemerahan disekitar bekas suntikan bahkan bengkak merupakan hal biasa, secara alamiah akan hilang dalam waktu tiga hari," ujar Ketua III Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Soedjatmiko
Soedjatmiko mengatakan, beberapa imunisasi memang memberikan efek kepada beberapa bayi tetapi itu hal biasa dan banyak dialami bayi. Ini akibat tingkat reaksi bayi terhadap imunisasi berbeda. Efek samping kemerahan misalnya, biasanya muncul ketika diberi imunisasi BCG untuk mencegah penyakit Tuberkolosis (TBC).
Efek bengkak, nyeri di sekitar area yang disuntik diikuti demam dapat diatasi. Anak bisa dikompres dengan air hangat untuk mengurangi rasa sakit. Obat penurun panas juga bisa diberikan untuk demam. Dosis obat, satu sendok obat (10 ml) per 10 kg berat bayi atau seuai anjuran dokter.
"Efek ini seperti orang makan sambal, ketika merasakan pedas ada yang biasa-biasa saja tapi ada yang berkeringat dan mukanya merah. Setelah itu, kembali seperti biasa," tambah Soedjatmiko.
Informasi pentingnya imunisasi ini penting untuk disebarluaskan. Menurut Soedjatmiko, dinas kesehatan setempat dan masyarakat harus ikut serta di dalamnya. Adanya pelatihan hingga penyuluhan sampai tingkat warga dapat merubah pandangan buruk mengenai imunisasi. Harapannya, selain menurunkan angka kematian bayi juga untuk mengejar target imunisasi bagi seluruh bayi di Indonesia.
"Saat ini cakupan imunisasi baru mencapai 80-90 persen. Diharapkan lewat upaya kerja sama masyarakat dan pemerintah pelaksanaan imunisasi bagi seluruh bayi di Indonesia segera terlaksana," jelas Soedjatmiko.

Untuk diketahui, bayi selama sembilan bulan wajib mendapat imunisasi dasar. Setelah lahir bayi harus segera mendapatkan imunisasi hepatitis B. Bulan kedua diberikan imunisasi BCG dan Polio. Selanjutnya, setiap bulannya hingga bulan keempat, bayi mendapatkan imunisasi DPT-Hepatitis dan Polio. Terakhir, bayi harus mendapatkan imunisasi campak ketika telah berumur sembilan bulan.

( Source: www.kompas.com )

Efek Samping Imunisasi

Efek Samping Imunisasi 


Efek Samping Imunisasi


Imunisasi adalah suatu usaha untuk membuat seseorang menjadi kebal terhadap penyakit tertentu dengan menyuntikan vaksin.

Vaksin adalah kuman hidup yang dilemahkan / kuman mati / zat yang bila dimasukkan ke tubuh menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.

Imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit : Poliomyelitis (kelumpuhan), Campak (measles), Difteri (indrak), Pertusis (batuk rejan / batuk seratus hari), Tetanus, Tuberculosis (TBC), Hepatitis B dan untuk mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh wabah yang sering berjangkit.

Manfaat Imunisasi

a. Manfaat untuk anak
Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian.

b. Manfaat untuk keluarga
Menghilangkan kecemasan dan biaya pengobatan bila anak sakit. Mendorong keluarga kecil apabila si orang tua yakin bahwa anak-anak akan menjalani masa anak-anak dengan aman.

c. Manfaat untuk negara
Memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal sehat untuk melanjutkan pembangunan negara dan memperbaiki citra bangsa Indonesia diantara segenap bangsa di dunia.

Macam Vaksin dan Cara Pemberian

a. Vaksin Polio
Bibit penyakit yang menyebabkan polio adalah virus, vaksin yang digunakan oleh banyak negara termasuk Indonesia adalah vaksin hidup, berbentuk cairan.

b. Vaksin Campak
Bibit penyakit yang menyebabkan campak adalah virus. Vaksin yang digunakan adalah vaksin hidup. Kemasan dalam flacon berbentuk gumpalan yang beku dan kering untuk dilarutkan dalam 5 cc pelarut. Sebelum menyuntikkan vaksin ini, harus terlebih dahulu dilarutkan dengan pelarut vaksin (aqua bidest). Disebut beku kering oleh karena pabrik pembuatan vaksin ini pertama kali membekukan vaksin tersebut kemudian mengeringkannya. Vaksin yang telah dilarutkan potensinya cepat menurun dan hanya bertahan selama 8 jam.

c. Vaksin BCG
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang berasal dari bakteri. Vaksin BCG adalah vaksin beku kering seperti campak berbentuk bubuk. Vaksin BCG melindungi anak terhadap penyakit tuberculosis (TBC).

Vaksin dibuat dari bibit penyakit hidup yang telah dilemahkan, ditemukan oleh Calmett Guerint. Sebelum menyuntikkan BCG, vaksin harus lebih dulu dilarutkan dengan 4 cc cairan pelarut (NaCl 0,9%). Vaksin yang sudah dilarutkan harus digunakan dalam waktu 3 jam. Vaksin akan mudah rusak bila kena sinar matahari langsung. Tempat penyuntikan adalah sepertinya bagian lengan kanan atas.

d. Vaksin Hepatitis B
Bibit penyakit yang menyebabkan hepatitis B adalah virus. Vaksin hepatitis B dibuat dari bagian virus yaitu lapisan paling luar (mantel virus) yang telah mengalami proses pemurnian. Vaksin hepatitis B akan rusak karena pembekuan dan pemanasan. Vaksin hepatitis B paling baik disimpan pada temperatur 2,8°C.

e. Vaksin DPT, TT, dan DT
Terdiri toxoid difteri, bakteri pertusis dan tetanus toxoid, kadang disebut “triple vaksin”. Vaksin DPT disimpan pada suhu 2,8°C kemasan yang digunakan:
- 5 cc untuk DPT,
- 5 cc untuk TT,
- 5 cc untuk DT.

Pemberian imunisasi DPT, DT, TT dosisnya adalah 0,5 cc.

f. Vaksin toxoid difteri
Vaksin ini merupakan bagian dari DPT atau DT, difteri disebabkan oleh bakteri yang memproduksi racun, vaksin terbuat dari toxoid yaitu racun difteri yang telah dilemahkan. Vaksin difteri akan rusak jika dibekukan dan juga akan rusak oleh panas.

g. Vaksin pertusis
Merupakan bagian dari vaksin DPT, penyebab penyakit pertusis adalah bakteri, vaksin dibuat dari bakteri yang telah dimatikan, akan mudah rusak, bila kena panas, sama seperti vaksin BCG, dalam vaksin DPT komponen pertusis merupakan vaksin yang paling mudah rusak.

h. Vaksin tetanus
Vaksin ini merupakan bagian dari vaksin DPT, DT atau sebagai tetanus toxoid (TT). Tetanus disebabkan oleh bakteri yang memproduksi toxin. Vaksin terbuat dari toxin tetanus yang telah dilemahkan, tetanus toxoid akan rusak bila dibekukan dan akan rusak bila kena panas.

Efek Samping Imunisasi

a. BCG

1. Reaksi normal
Bakteri BCG ditubuh bekerja dengan sangat lambat. Setelah 2 minggu akan terjadi pembengkakan kecil merah di tempat penyuntikan dengan garis tengah 10 mm.
Setelah 2 – 3 minggu kemudian, pembengkakan menjadi abses kecil yang kemudian menjadi luka dengan garis tengah 10 mm, jangan berikan obat apapun pada luka dan biarkan terbuka atau bila akan ditutup gunakan kasa kering. Luka tersebut akan sembuh dan meninggalkan jaringan parut tengah 3-7 mm.

2.Reaksi berat
Kadang terjadi peradangan setempat yang agak berat atau abses yang lebih dalam, kadang juga terjadi pembengkakan di kelenjar limfe pada leher / ketiak, hal ini disebabkan kesalahan penyuntikan yang terlalu dalam dan dosis yang terlalu tinggi.

3.Reaksi yang lebih cepat
Jika anak sudah mempunyai kekebalan terhadap TBC, proses pembengkakan mungkin terjadi lebih cepat dari 2 minggu, ini berarti anak tersebut sudah mendapat imunisasi BCG atau kemungkinan anak tersebut telah terinfeksi BCG.

b. DPT
1. Panas
Kebanyakan anak akan menderita panas pada sore hari setelah mendapat imunisasi DPT, tapi panas ini akan sembuh dalam 1 – 2 hari. Anjurkan agar jangan dibungkus dengan baju tebal dan dimandikan dengan cara melap dengan air yang dicelupkan ke air hangat.

2. Rasa sakit di daerah suntikan
Sebagian anak merasa nyeri, sakit, kemerahan, bengkak.

3. Peradangan
Bila pembengkakan terjadi seminggu atau lebih, maka hal ini mungkin disebabkan peradangan, mungkin disebabkan oleh jarum suntik yang tidak steril karena:

* Telah tersentuh,
* Sebelum dipakai menyuntik jarum diletakkan diatas tempat yang tidak steril,
* Sterilisasi kurang lama,
* Pencemaran oleh kuman.


4. Kejang-kejang
Reaksi yang jarang terjadi sebaliknya diketahui petugas, reaksi disebabkan oleh komponen dari vaksin DPT.

c. Polio
Bila anak sedang diare ada kemungkinan vaksin tidak bekerja dengan baik karena ada gangguan penyerapan vaksin oleh usus akibat diare berat.

d. Hepatitis D
Efek samping: tidak ada

e. Campak
Efek samping vaksin campak : panas dan kemerahan.
Anak-anak mungkin panas selama 1 – 3 hari setelah 1 minggu penyuntikan, kadang disertai kemerahan seperti penderita campak ringan.

Senin, 04 April 2011

Tanya - Jawab Soal Imunisasi

Anak sudah masuk jadwal diimunisasi, tetapi kebetulan ia sedang demam; apakah tetap harus imunisasi atau ditunda dulu?
Apabila anak demam, sebaiknya pemberian vaksin ditunda. Supaya kalau ada efek dari pemberian vaksin, tidak sulit mencari penyebab demam, karena vaksin atau memang demam.

Kalau anak demam, bengkak, pegal, rewel, kaki tidak dibisa digerakkan lantaran imunisasi, dokter akan memberikan informasi efek dan cara penanggulangannya. Misalnya berikan obat turun panas. Kalau bengkak kompres.

Bagaimana imunisasi untuk bayi prematur?
Pemberian imunisasi untuk bayi prematur sebaiknya ditunda. Pemberian imunisasi seperti vaksin polio oral dapat dilakukan setelah bayi prematur tersebut berumur dua bulan atau berat badan bayi tersebut sudah mencapai lebih dari 2000 gram. Demikian juga untuk vaksin Dipteri Pertusis Tetanus (DPT), Hepatitis B, Hib (Haemophylus influenzae tipe b).

Apa efeknya jika seorang anak tidak diimunisasi?
Pada prinsipnya semua anak memang perlu diimunisasi. Dengan memberikan imunisasi berarti kita telah memberikan perlindungan kepada anak terhadap penyakit yang berkaitan dengan imunisasi tersebut. Kalau anak tidak diimunisasi tentu mempunyai efek, yaitu sangat rentan atau mudah terkena penyakit, yang terkadang sampai mengakibatkan kecacatan bahkan kematian.

Pada imunisasi terdahulu, anak badannya menjadi panas setelah diimunisasi, bagaimana dengan imunisasi selanjutnya apakah dilanjutkan atau tidak?
Jika ada kejadian ikutan setelah imunisasi seperti panas hanya satu hari, ini dianggap ringan, maka vaksinasi berikutnya dapat dilanjutkan sesuai jadwal. Tetapi jika berat, dosis berikut sebaiknya tidak dilanjutkan. Kalau ini terjadi sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan dokter.

Yang dimaksud dengan kejadian ikutan setelah imunisasi adalah, “Semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi.” Pada keadaan tertentu lama pengamatan kejadian ikutan setelah imunisasi dapat mencapai masa 42 hari (artritis kronik setelah vaksinasi rubela) atau bahkan sampai enam bulan (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi setelah vaksinasi campak).

Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse effects), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi tersebut antara lain dapat berupa efek farmakologis, efek samping, interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan. Efek farmakologis, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik.

Setelah pemberian imunisasi, apakah bayi boleh langsung diberi ASI?
ASI dapat diberikan segera setelah pemberian imunisasi, karena ASI juga mengandung antibodi yang dapat mengikat vaksin polio oral, sehingga akan meningkatkan kekebalan anak terhadap penyakit polio.

Bagaimana kalau timbul reaksi alergi pada anak?
Terkadang pada suntikan pertama tidak berdampak apa-apa. Tapi, suntikan kedua atau ketiga anak mengalami gatal-gatal. Berarti pemberian imunisasinya harus distop, kemungkinan anak alergi terhadap bahan-bahan yang ditambahkan pada vaksin. Alergi tidak bisa diprediksi, sama seperti alergi obat.

Vaksin yang dibuat dengan memakai embrio telur sebaiknya diberikan secara hati-hati kepada mereka yang alergi telur, antara lain vaksin influenza, campak dan parotitis.

Bagaimana pula dengan anak yang memiliki riwayat kejang, dan yang menderita Epilepsi, bolehkah tetap imunisasi?
Jangan takut jika memiliki anak epilepsi. Sebab, anak yang menderita epilepsi tidak ada kontra indikasi untuk imunisasi.

Untuk anak yang pernah kejang, memang dianjurkan untuk tidak diimunisasi dengan DTwP, yaitu vaksin DPT yang bisa menyebabkan demam. Anak diimunisasi dengan DtaP (DPT yang tidak menimbulkan demam) atau vaksin DT (tanpa komponen Pertusis).



Written by Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D

Imunisasi: yang Wajib Jangan Sampai Tertunda

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), imunisasi terbagi dua; imunisasi wajib dan imunisasi yang disarankan. Padahal, baik imunisasi yang diwajibkan atau yang disarankan sama-sama pentingnya. Itu semua hanya istilah saja. Disebut imunisasi wajib, karena penyakitnya masih sering ditemui di Indonesia, sehingga pemerintah mewajibkan untuk memberikan imunisasi. Disamping itu imunisasi yang diwajibkan diberikan secara gratis jadi harus dilakukan.

Imunisasi BCG
Salah satu imunisasi yang diwajibkan adalah BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Vaksin ini berfungsi agar badan memiliki kekebalan aktif sehingga tidak mudah terserang penyakit TBC. Kuman ini dapat menyerang berbagai organ tubuh, seperti paru-paru (paling sering terjadi), kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak (terberat).
Biasanya, imunisasi BCG ini cukup diberikan sekali seumur hidup, tak perlu diulang (booster). Tepatnya, ketika bayi berusia 0-2 bulan. Karena dalam vaksin ini berisi kuman hidup, sehingga antibodi yang dihasilkan tinggi terus. Berbeda dengan vaksin yang berisi kuman mati, sehingga memerlukan pengulangan.
Kekebalan BCG bisa juga didapat dari sang ibu, ketika bayi masih dalam kandungan. Namun, begitu bayi berumur dua bulan, kekebalan pasif dari ibunya tersebut akan berangsur menghilang.
Namun yang harus diingat, jika sang buah hati terlambat diimunisasi BCG, dia harus melakukan tes Mantoux (tuberkulin), untuk mengetahui apakah sang bayi sudah tertular kuman Mycobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil tesnya negatif. Jika hasilnya positif TBC, maka suntikan BCG tak perlu diberikan. Penyakitnya saja yang diobati, setelah sembuh tubuh yang bersangkutan akan membuat zat anti dan kemungkinan besar tidak akan terkena lagi.
Imunisasi BCG dikatakan berhasil apabila muncul bisul kecil dan bernanah di daerah bekas suntikan setelah 4-6 minggu. Tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi panas. Bisul akan sembuh sendiri dan meninggalkan luka parut.
Kalaupun bisul tak muncul, tak usah cemas. Bisa saja karena cara penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu keahlian khusus karena vaksin harus masuk ke dalam kulit. Meski bisul tak muncul, antibodi tetap terbentuk, hanya saja dalam kadar rendah.
Suntikan BCG yang benar adalah yang ditanam di kulit, tidak dalam, dan tidak masuk ke otot. Biasanya disuntikan di lengan kanan atas, meski ada juga petugas medis yang melakukan penyuntikan di paha. Setelah disuntik, permukaan kulit yang menjadi lokasi suntikan akan melendung/membengkak karena suntikannya menyusur kulit itu.
Umumnya tidak ada efek samping setelah penyuntikan. Namun pada beberapa anak timbul pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak atau leher bagian bawah, dan itu akan sembuh dengan sendirinya.
Vaksin BCG ini tidak boleh diberikan kepada anak yang menderita TBC, gizi buruk, dan penderita HIV/AIDS. Pada anak yang mengalami kurang gizi, suntikan BCG ini tak akan "jadi" karena daya tahan tubuhnya kurang bagus. Agar berhasil, vaksinasi hanya bisa diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh baik.

Imunisasi Polio
Penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan virus poliomyelitis. Penyakit ini pernah menjadi momok yang menyeramkan bagi masyarakat Indonesia. Dan baru berakhir pada tahun 1995, lalu belakangan merebak kembali. Masih ada beberapa anak yang menderita penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini.
Virus poliomyelitis ini berkembang biak dalam tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus, lalu masuk ke aliran darah dan akhirnya ke sumsum tulang belakang hingga bisa menyebabkan kelumpuhan otot tangan dan kaki. Bila mengenai otot pernapasan, penderita akan kesulitan bernapas dan bisa meninggal. Itulah sebabnya vaksin polio wajib diberikan kepada anak-anak.

Pemberian Vaksin Polio
Vaksin polio diberikan enam kali yaitu; saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan, dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun.
Cara Pemberian imunisasi polio itu ada dua macam yaitu; OPV (Oral Polio Vaccine), bentuknya adalah tetesan dan isinya adalah kuman polio yang hidup dan IPV (Inactivated Polio Vaccine), bentuknya adalah injeksi dan isinya adalah kuman polio yang sudah dimatikan.
Karena belum dinyatakan sebagai negara bebas polio, di Indonesia pemberiannya dengan OPV. IPV tidak efektif untuk mencegah polio di negara yang belum bebas polio seperti Indonesia.
Anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di atas 38°C), muntah atau diare, penyakit kanker atau keganasan, HIV/AIDS, tidak boleh diberikan vaksin polio. Begitu juga dengan anak yang sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum, serta anak dengan mekanisme kekebalan terganggu.

ASI Dan Polio
Perlu perhatian khusus dalam pemberian vaksin polio dan pemberian ASI. Sebab, salah-salah malah vaksin yang diberikan tidak bekerja efektif karena ASI menetralisir vaksin polio.
Bagi bayi yang berusia tujuh hari dan diberikan vaksin polio sebaiknya tidak diberikan ASI. Berikan jarak sekitar satu hingga dua jam, agar vaksin bekerja dulu dalam tubuh. Namun, jika bayi berusia lebih dari tujuh hari lantas diberikan vaksin polio, maka tidak ada masalah jika diberikan ASI langsung.
Jika bayi memuntahkan vaksin polio yang biasa diberikan secara oral, sebaiknya jangan lantas menyambungi dengan vaksin. Berikan waktu 10 menit, baru berikan kembali. Tunggu hingga anak tenang. Sebab, biasanya anak memuntahkan vaksin karena tidak suka rasanya dan menyemburkan kembali atau pun muntah ketika diberikan vaksin.

Imunisasi DPT
Pemberian imunisasi ini berguna untuk memberikan kekebalan kepada anak dari penyakit Dipteri (infeksi tenggorokan), Tetanus, Pertusis. Jadi, satu vaksinasi untuk tiga macam penyakit.

Difteri
Dipteri adalah penyakit infeksi pada tenggorokan yang disebabkan oleh kuman corynebacterium diphtheriae.  
Biasanya gejala yang muncul adalah demam tinggi (39-40 derajat Celcius), batuk, tenggorokan sakit dan suara serak, kesulitan bernapas, adanya selaput tenggorokan berwarna abu-abu muda dan saat disenggol gampang berdarah, serta dari luar terlihat leher membesar disertai nyeri. Bahkan, bila dibiarkan saja, bisa menyebabkan komplikasi ke otot-otot jantung.
Bakteri difteri ini bisa ditularkan saat bersin, batuk atau berbicara. Biasanya, masa inkubasinya 1-6 hari. Nah, kalau sudah terkena dipteri, memang ada pengobatannya, tapi biayanya jauh lebih besar dan ada kemungkinan anak akan cacat. Misalnya saja, tenggorokan si kecil musti dilubangi agar dia bisa bernapas lepas. Atau akibat dipteri, pompa jantung anak menjadi lemah.

Pertusis
Pertusis ini disebut juga dengan batuk rejan atau batuk 100 hari dengan masa inkubasi 6-20 hari. Penyakit ini gampang menular lewat udara yang mengandung bakteri bordetella pertussis.
Awalnya, hanya flu biasa, seperti pilek, batuk kering dan demam ringan, tapi lama kelamaan akan timbul batuk yang semakin kuat dan terus-menerus. Saking kuatnya batuk, bisa membuat anak muntah-muntah, mata merah hingga kesulitan bernapas.
Pertusis ini kurang berbahaya ketimbang Dipteri dan Tetanus. Tetapi tetap saja harus menjadi perhatian orangtua. Sebab, bisa menyebabkan pembuluh darah di mata pecah dan mata pun menjadi merah.

Tetanus  
Penyebab tetanus adalah bakteri clostridium tetani. Infeksi tetanus ini terjadi karena luka. Anda musti waspada bila si kecil ada sumber lubang yang terluka, entah itu di telinga, gigi, tali pusat, atau bagian tubuh lain karena bisa menjadi incaran bakteri clostridium tetani.
Gejalanya, kejang otot rahang, kaku di leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang tersebut bisa merambat ke otot perut, lengan dan paha yang menjadi kaku dan menyebabkan kecacatan. Bahkan, tetanus ini bisa mengakibatkan kematian.    

Jadwal Imunisasi DPT 
Pemberian imunisasi DPT dilakukan beberapa kali sesuai usia anak. Untuk bayi (0-12 bulan), ada tiga kali imunisasi pada usia 2, 4, dan 6 bulan atau bisa juga pada umur 3, 4, dan 5 bulan.
Lalu, diberikan imunisasi ulangan pada usia 18 bulan dan diulang lagi pada umur 5 tahun. Saat anak masuk sekolah, anak akan mendapat imunisasi DT pada usia 12 tahun.
Saat anak berusia di atas 5 tahun, dia tidak lagi mendapat imunisasi pertusis, sebab kekebalan akan pertusis sudah terbentuk. Sehingga, pada usia 12 tahun, anak hanya mendapat imunisasi DT (Dipteri dan Tetanus). Untuk anak laki-laki menerima imunisasi DT untuk mencegah infeksi luka, sedangkan anak perempuan mendapatkan imunisasi TT (Tetanus Toksoid) sebagai persiapan kehamilan agar bayinya tidak kena tokso.

Demam Pasca DPT
Namun, orangtua jangan panik jika setelah imunisasi DPT, anak demam. Kondisi itu merupakan reaksi tubuh terhadap kuman yang dimasukkan. Demamnya berlangsung paling lama dua hari. Ini bisa diatasi dengan obat penurun panas. Sehabis imunisasi DPT, biasanya dokter sudah memberitahukan efek sampingnya.
Kalau si kecil panasnya belum reda juga setelah dua hari, segera bawa buah hati ke dokter. Nah, bagi Anda yang khawatir si kecil kejang karena demam, Anda punya pilihan imunisasi DPT asesular, sejenis vaksin DPT yang Pertusisnya tidak menimbulkan demam.

Penyakit Campak
Penyakit ini hanya dialami sekali seumur hidup. Jadi, jika si kecil terkena campak saat dia masih kecil, maka ketika dewasa dia tidak akan terkena lagi. Begitu juga sebaliknya, jika waktu kecil dia belum pernah sakit campak, maka ada kemungkinan ketika dewasa sang anak terkena penyakit tersebut.
Penyebab campak adalah virus Morbili. Biasanya, penyakit campak ini gampang menular melalui udara atau air ludah penderita yang terhirup lewat hidung atau mulut dan masa inkubasinya sekitar 10-12 hari.
Gejala klinis campak, anak mengalami panas tinggi (39-40 derajat celcius) yang suhunya turun naik selama 3-4 hari. Pada saat panas turun, akan keluar ruam-ruam merah pada tubuh anak yang dimulai dari belakang telinga, lalu turun ke dada, tangan, kaki, dan muka. Setelah 3-4 hari, bercak merah akan semakin banyak dan ada beberapa anak yang mengalami diare.
Nah, jika Anda tahu si kecil terkena campak, harus segera ditangani. Bila tidak, anak bisa saja mengalami komplikasi radang paru-paru (Broncho Pneumonia).

Imunisasi Campak
Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun, antibodi campak yang sudah terbentuk, lambat laun akan menurun dengan bertambahnya usia. Oleh karena itu, anak musti mendapat tambahan vaksinasi campak. Pertama, saat si kecil usia 9 bulan dan yang kedua, saat anak usia 6 tahun.
Pada usia 9 bulan, antibodi campak sudah menurun, padahal campak biasanya menyerang anak usia balita. Nah, bagi anak yang belum mendapat imunisasi campak hingga 12 bulan, bisa melakukan imunisasi MMR (Measles Mumps Rubella) untuk mendapatkan kekebalan terhadap campak.
Biasanya, sehabis menerima imunisasi campak, anak tidak langsung demam. Baru empat atau lima hari kemudian, anak baru demam. Bisa juga timbul ruam-ruam merah sekitar satu atau dua hari. 

Written by Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D

Setelah Imunisasi Kok Malah Demam?

 
Tak sedikit ibu yang khawatir akan dampak yang menimpa si kecil setelah imunisasi. Salah satunya, demam pada anak. Nah, bagaimana mengatasinya?

Beberapa waktu lalu, beterbangan kabar burung di masyarakat terkait pemberian imunisasi. Misalnya vaksin polio disebut-sebut dapat membuat anak jatuh sakit bahkan meninggal. Ada pula yang mencurigai imunisasi bisa menyebabkan autisme. Tentu tidak benar. Nah, yang benar seperti apa?
Jangan mudah percaya dengan isu-isu yang beredar mengenai efek samping imunisasi, tanyakan langsung kepada ahli atau dokter anak Anda! Tetap berikan gizi seimbang pada anak, untuk memperkuat sistem kekebalan tubuhnya.

Reaksi KIPI
Kecemasan orangtua akan timbulnya demam pasca imunisasi adalah hal yang wajar. Demam termasuk salah satu Reaksi KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Semua kejadian sakit yang terjadi dalam kurun waktu satu bulan setelah imunisasi disebut dengan Reaksi KIPI.
Pada keadaan tertentu, lama pengamatan bisa mencapai 42 hari sampai 6 bulan. Sebagian besar Reaksi KIPI hanya ringan dan akan mereda dengan sendirinya.
Tapi yang perlu diingat adalah setiap efek samping tidak selalu terjadi pada semua anak. Sifatnya sangat individual. Terkadang orangtua terlalu khawatir setelah melihat anak orang lain diimunisasi kemudian jadi demam. Langsung deh, takut anaknya jatuh sakit juga. Padahal belum tentu reaksinya sama.

KIPI setelah DPT
Jenis imunisasi yang biasanya menimbulkan efek demam adalah DPT (Difteri Pertusis Tetanus). Jika anak demam, berikan obat penurun panas atau parasetamol. Sebab parasetamol mempunyai efek penurun panas dan menurunkan rasa nyeri. Berikan saja kepada anak sesuai dosis yang ada, tidak perlu ditingkatkan. Bila lebih dari tiga hari demamnya tidak turun juga, segera berobat ke dokter. Kemungkinan besar terjadi infeksi lain dan bukan disebabkan oleh imunisasi.
Untunglah kini sudah ada jenis vaksin DPT yang tidak menimbulkan demam, yaitu jenis DPT yang aseluler. Hanya saja harganya masih mahal.
DPT termasuk salah satu imunisasi wajib dari PPI (Program Pengembangan Imunisasi) yang diprogramkan pemerintah. Masih ada empat jenis imunisasi lainnya, yakni BCG (Bacillus Calmette Guerin), hepatitis B, polio, dan campak.

KIPI Setelah BCG
Efek pemberian vaksin BCG, biasanya muncul bengkak di tempat suntikan. Itupun terjadi sekitar enam minggu setelah disuntik. Timbul bisul kecil di daerah bekas suntikan. Tapi, tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi rasa panas. Bisul akan sembuh sendiri dan meninggalkan luka parut.

KIPI Setelah Campak
Pemberian imunisasi hepatitis B dan polio pada umumnya tidak menimbulkan efek samping apapun. Sedangkan vaksin campak memiliki efek samping demam dengan ruam-ruam campak ringan. Timbulnya sekitar satu minggu setelah disuntik.





Written by Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D

Yang Bisa Menunda Imunisasi

Yang Bisa Menunda Imunisasi
  • Panas tinggi, bengkak, kejang, sakit berat
  • Sedang mendapat obat steroid, obat antikanker, radioaktif.
  • Mengidap leukemia, HIV/AIDS.
  • Dalam tiga bulan terakhir mendapatkan transfusi darah atau suntikan imunoglobin.
  • Bayi prematur (sesuaikan dengan jadwal atau mulai saat usia 2 bulan).
  • Bayi demam tinggi dan rewel. Karena imunisasi pada dasarnya memasukkan bibit penyakit ke dalam tubuh serta membentuk antibodi di dalam tubuh. Maka, jika anak sedang demam dan diimunisasi, bisa-bisa penyakitnya bertambah parah.
  • Anak sedang mengonsumsi prednison dosis tinggi. 
Written by Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D