Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), imunisasi terbagi dua; imunisasi wajib dan imunisasi yang disarankan. Padahal, baik imunisasi yang diwajibkan atau yang disarankan sama-sama pentingnya. Itu semua hanya istilah saja. Disebut imunisasi wajib, karena penyakitnya masih sering ditemui di Indonesia, sehingga pemerintah mewajibkan untuk memberikan imunisasi. Disamping itu imunisasi yang diwajibkan diberikan secara gratis jadi harus dilakukan.
Imunisasi BCG
Salah satu imunisasi yang diwajibkan adalah BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Vaksin ini berfungsi agar badan memiliki kekebalan aktif sehingga tidak mudah terserang penyakit TBC. Kuman ini dapat menyerang berbagai organ tubuh, seperti paru-paru (paling sering terjadi), kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak (terberat).
Biasanya, imunisasi BCG ini cukup diberikan sekali seumur hidup, tak perlu diulang (booster). Tepatnya, ketika bayi berusia 0-2 bulan. Karena dalam vaksin ini berisi kuman hidup, sehingga antibodi yang dihasilkan tinggi terus. Berbeda dengan vaksin yang berisi kuman mati, sehingga memerlukan pengulangan.
Kekebalan BCG bisa juga didapat dari sang ibu, ketika bayi masih dalam kandungan. Namun, begitu bayi berumur dua bulan, kekebalan pasif dari ibunya tersebut akan berangsur menghilang.
Namun yang harus diingat, jika sang buah hati terlambat diimunisasi BCG, dia harus melakukan tes Mantoux (tuberkulin), untuk mengetahui apakah sang bayi sudah tertular kuman Mycobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil tesnya negatif. Jika hasilnya positif TBC, maka suntikan BCG tak perlu diberikan. Penyakitnya saja yang diobati, setelah sembuh tubuh yang bersangkutan akan membuat zat anti dan kemungkinan besar tidak akan terkena lagi.
Imunisasi BCG dikatakan berhasil apabila muncul bisul kecil dan bernanah di daerah bekas suntikan setelah 4-6 minggu. Tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi panas. Bisul akan sembuh sendiri dan meninggalkan luka parut.
Kalaupun bisul tak muncul, tak usah cemas. Bisa saja karena cara penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu keahlian khusus karena vaksin harus masuk ke dalam kulit. Meski bisul tak muncul, antibodi tetap terbentuk, hanya saja dalam kadar rendah.
Suntikan BCG yang benar adalah yang ditanam di kulit, tidak dalam, dan tidak masuk ke otot. Biasanya disuntikan di lengan kanan atas, meski ada juga petugas medis yang melakukan penyuntikan di paha. Setelah disuntik, permukaan kulit yang menjadi lokasi suntikan akan melendung/membengkak karena suntikannya menyusur kulit itu.
Umumnya tidak ada efek samping setelah penyuntikan. Namun pada beberapa anak timbul pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak atau leher bagian bawah, dan itu akan sembuh dengan sendirinya.
Vaksin BCG ini tidak boleh diberikan kepada anak yang menderita TBC, gizi buruk, dan penderita HIV/AIDS. Pada anak yang mengalami kurang gizi, suntikan BCG ini tak akan "jadi" karena daya tahan tubuhnya kurang bagus. Agar berhasil, vaksinasi hanya bisa diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh baik.
Imunisasi Polio
Penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan virus poliomyelitis. Penyakit ini pernah menjadi momok yang menyeramkan bagi masyarakat Indonesia. Dan baru berakhir pada tahun 1995, lalu belakangan merebak kembali. Masih ada beberapa anak yang menderita penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini.
Virus poliomyelitis ini berkembang biak dalam tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus, lalu masuk ke aliran darah dan akhirnya ke sumsum tulang belakang hingga bisa menyebabkan kelumpuhan otot tangan dan kaki. Bila mengenai otot pernapasan, penderita akan kesulitan bernapas dan bisa meninggal. Itulah sebabnya vaksin polio wajib diberikan kepada anak-anak.
Pemberian Vaksin Polio
Vaksin polio diberikan enam kali yaitu; saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan, dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun.
Cara Pemberian imunisasi polio itu ada dua macam yaitu; OPV (Oral Polio Vaccine), bentuknya adalah tetesan dan isinya adalah kuman polio yang hidup dan IPV (Inactivated Polio Vaccine), bentuknya adalah injeksi dan isinya adalah kuman polio yang sudah dimatikan.
Karena belum dinyatakan sebagai negara bebas polio, di Indonesia pemberiannya dengan OPV. IPV tidak efektif untuk mencegah polio di negara yang belum bebas polio seperti Indonesia.
Anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di atas 38°C), muntah atau diare, penyakit kanker atau keganasan, HIV/AIDS, tidak boleh diberikan vaksin polio. Begitu juga dengan anak yang sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum, serta anak dengan mekanisme kekebalan terganggu.
ASI Dan Polio
Perlu perhatian khusus dalam pemberian vaksin polio dan pemberian ASI. Sebab, salah-salah malah vaksin yang diberikan tidak bekerja efektif karena ASI menetralisir vaksin polio.
Bagi bayi yang berusia tujuh hari dan diberikan vaksin polio sebaiknya tidak diberikan ASI. Berikan jarak sekitar satu hingga dua jam, agar vaksin bekerja dulu dalam tubuh. Namun, jika bayi berusia lebih dari tujuh hari lantas diberikan vaksin polio, maka tidak ada masalah jika diberikan ASI langsung.
Jika bayi memuntahkan vaksin polio yang biasa diberikan secara oral, sebaiknya jangan lantas menyambungi dengan vaksin. Berikan waktu 10 menit, baru berikan kembali. Tunggu hingga anak tenang. Sebab, biasanya anak memuntahkan vaksin karena tidak suka rasanya dan menyemburkan kembali atau pun muntah ketika diberikan vaksin.
Imunisasi DPT
Pemberian imunisasi ini berguna untuk memberikan kekebalan kepada anak dari penyakit Dipteri (infeksi tenggorokan), Tetanus, Pertusis. Jadi, satu vaksinasi untuk tiga macam penyakit.
Difteri
Dipteri adalah penyakit infeksi pada tenggorokan yang disebabkan oleh kuman corynebacterium diphtheriae.
Biasanya gejala yang muncul adalah demam tinggi (39-40 derajat Celcius), batuk, tenggorokan sakit dan suara serak, kesulitan bernapas, adanya selaput tenggorokan berwarna abu-abu muda dan saat disenggol gampang berdarah, serta dari luar terlihat leher membesar disertai nyeri. Bahkan, bila dibiarkan saja, bisa menyebabkan komplikasi ke otot-otot jantung.
Bakteri difteri ini bisa ditularkan saat bersin, batuk atau berbicara. Biasanya, masa inkubasinya 1-6 hari. Nah, kalau sudah terkena dipteri, memang ada pengobatannya, tapi biayanya jauh lebih besar dan ada kemungkinan anak akan cacat. Misalnya saja, tenggorokan si kecil musti dilubangi agar dia bisa bernapas lepas. Atau akibat dipteri, pompa jantung anak menjadi lemah.
Pertusis
Pertusis ini disebut juga dengan batuk rejan atau batuk 100 hari dengan masa inkubasi 6-20 hari. Penyakit ini gampang menular lewat udara yang mengandung bakteri bordetella pertussis.
Awalnya, hanya flu biasa, seperti pilek, batuk kering dan demam ringan, tapi lama kelamaan akan timbul batuk yang semakin kuat dan terus-menerus. Saking kuatnya batuk, bisa membuat anak muntah-muntah, mata merah hingga kesulitan bernapas.
Pertusis ini kurang berbahaya ketimbang Dipteri dan Tetanus. Tetapi tetap saja harus menjadi perhatian orangtua. Sebab, bisa menyebabkan pembuluh darah di mata pecah dan mata pun menjadi merah.
Tetanus
Penyebab tetanus adalah bakteri clostridium tetani. Infeksi tetanus ini terjadi karena luka. Anda musti waspada bila si kecil ada sumber lubang yang terluka, entah itu di telinga, gigi, tali pusat, atau bagian tubuh lain karena bisa menjadi incaran bakteri clostridium tetani.
Gejalanya, kejang otot rahang, kaku di leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang tersebut bisa merambat ke otot perut, lengan dan paha yang menjadi kaku dan menyebabkan kecacatan. Bahkan, tetanus ini bisa mengakibatkan kematian.
Jadwal Imunisasi DPT
Pemberian imunisasi DPT dilakukan beberapa kali sesuai usia anak. Untuk bayi (0-12 bulan), ada tiga kali imunisasi pada usia 2, 4, dan 6 bulan atau bisa juga pada umur 3, 4, dan 5 bulan.
Lalu, diberikan imunisasi ulangan pada usia 18 bulan dan diulang lagi pada umur 5 tahun. Saat anak masuk sekolah, anak akan mendapat imunisasi DT pada usia 12 tahun.
Saat anak berusia di atas 5 tahun, dia tidak lagi mendapat imunisasi pertusis, sebab kekebalan akan pertusis sudah terbentuk. Sehingga, pada usia 12 tahun, anak hanya mendapat imunisasi DT (Dipteri dan Tetanus). Untuk anak laki-laki menerima imunisasi DT untuk mencegah infeksi luka, sedangkan anak perempuan mendapatkan imunisasi TT (Tetanus Toksoid) sebagai persiapan kehamilan agar bayinya tidak kena tokso.
Demam Pasca DPT
Namun, orangtua jangan panik jika setelah imunisasi DPT, anak demam. Kondisi itu merupakan reaksi tubuh terhadap kuman yang dimasukkan. Demamnya berlangsung paling lama dua hari. Ini bisa diatasi dengan obat penurun panas. Sehabis imunisasi DPT, biasanya dokter sudah memberitahukan efek sampingnya.
Kalau si kecil panasnya belum reda juga setelah dua hari, segera bawa buah hati ke dokter. Nah, bagi Anda yang khawatir si kecil kejang karena demam, Anda punya pilihan imunisasi DPT asesular, sejenis vaksin DPT yang Pertusisnya tidak menimbulkan demam.
Penyakit Campak
Penyakit ini hanya dialami sekali seumur hidup. Jadi, jika si kecil terkena campak saat dia masih kecil, maka ketika dewasa dia tidak akan terkena lagi. Begitu juga sebaliknya, jika waktu kecil dia belum pernah sakit campak, maka ada kemungkinan ketika dewasa sang anak terkena penyakit tersebut.
Penyebab campak adalah virus Morbili. Biasanya, penyakit campak ini gampang menular melalui udara atau air ludah penderita yang terhirup lewat hidung atau mulut dan masa inkubasinya sekitar 10-12 hari.
Gejala klinis campak, anak mengalami panas tinggi (39-40 derajat celcius) yang suhunya turun naik selama 3-4 hari. Pada saat panas turun, akan keluar ruam-ruam merah pada tubuh anak yang dimulai dari belakang telinga, lalu turun ke dada, tangan, kaki, dan muka. Setelah 3-4 hari, bercak merah akan semakin banyak dan ada beberapa anak yang mengalami diare.
Nah, jika Anda tahu si kecil terkena campak, harus segera ditangani. Bila tidak, anak bisa saja mengalami komplikasi radang paru-paru (Broncho Pneumonia).
Imunisasi Campak
Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun, antibodi campak yang sudah terbentuk, lambat laun akan menurun dengan bertambahnya usia. Oleh karena itu, anak musti mendapat tambahan vaksinasi campak. Pertama, saat si kecil usia 9 bulan dan yang kedua, saat anak usia 6 tahun.
Pada usia 9 bulan, antibodi campak sudah menurun, padahal campak biasanya menyerang anak usia balita. Nah, bagi anak yang belum mendapat imunisasi campak hingga 12 bulan, bisa melakukan imunisasi MMR (Measles Mumps Rubella) untuk mendapatkan kekebalan terhadap campak.
Biasanya, sehabis menerima imunisasi campak, anak tidak langsung demam. Baru empat atau lima hari kemudian, anak baru demam. Bisa juga timbul ruam-ruam merah sekitar satu atau dua hari.
Written by Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar