Senin, 04 April 2011

Tanya - Jawab Soal Imunisasi

Anak sudah masuk jadwal diimunisasi, tetapi kebetulan ia sedang demam; apakah tetap harus imunisasi atau ditunda dulu?
Apabila anak demam, sebaiknya pemberian vaksin ditunda. Supaya kalau ada efek dari pemberian vaksin, tidak sulit mencari penyebab demam, karena vaksin atau memang demam.

Kalau anak demam, bengkak, pegal, rewel, kaki tidak dibisa digerakkan lantaran imunisasi, dokter akan memberikan informasi efek dan cara penanggulangannya. Misalnya berikan obat turun panas. Kalau bengkak kompres.

Bagaimana imunisasi untuk bayi prematur?
Pemberian imunisasi untuk bayi prematur sebaiknya ditunda. Pemberian imunisasi seperti vaksin polio oral dapat dilakukan setelah bayi prematur tersebut berumur dua bulan atau berat badan bayi tersebut sudah mencapai lebih dari 2000 gram. Demikian juga untuk vaksin Dipteri Pertusis Tetanus (DPT), Hepatitis B, Hib (Haemophylus influenzae tipe b).

Apa efeknya jika seorang anak tidak diimunisasi?
Pada prinsipnya semua anak memang perlu diimunisasi. Dengan memberikan imunisasi berarti kita telah memberikan perlindungan kepada anak terhadap penyakit yang berkaitan dengan imunisasi tersebut. Kalau anak tidak diimunisasi tentu mempunyai efek, yaitu sangat rentan atau mudah terkena penyakit, yang terkadang sampai mengakibatkan kecacatan bahkan kematian.

Pada imunisasi terdahulu, anak badannya menjadi panas setelah diimunisasi, bagaimana dengan imunisasi selanjutnya apakah dilanjutkan atau tidak?
Jika ada kejadian ikutan setelah imunisasi seperti panas hanya satu hari, ini dianggap ringan, maka vaksinasi berikutnya dapat dilanjutkan sesuai jadwal. Tetapi jika berat, dosis berikut sebaiknya tidak dilanjutkan. Kalau ini terjadi sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan dokter.

Yang dimaksud dengan kejadian ikutan setelah imunisasi adalah, “Semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi.” Pada keadaan tertentu lama pengamatan kejadian ikutan setelah imunisasi dapat mencapai masa 42 hari (artritis kronik setelah vaksinasi rubela) atau bahkan sampai enam bulan (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi setelah vaksinasi campak).

Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse effects), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi tersebut antara lain dapat berupa efek farmakologis, efek samping, interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan. Efek farmakologis, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik.

Setelah pemberian imunisasi, apakah bayi boleh langsung diberi ASI?
ASI dapat diberikan segera setelah pemberian imunisasi, karena ASI juga mengandung antibodi yang dapat mengikat vaksin polio oral, sehingga akan meningkatkan kekebalan anak terhadap penyakit polio.

Bagaimana kalau timbul reaksi alergi pada anak?
Terkadang pada suntikan pertama tidak berdampak apa-apa. Tapi, suntikan kedua atau ketiga anak mengalami gatal-gatal. Berarti pemberian imunisasinya harus distop, kemungkinan anak alergi terhadap bahan-bahan yang ditambahkan pada vaksin. Alergi tidak bisa diprediksi, sama seperti alergi obat.

Vaksin yang dibuat dengan memakai embrio telur sebaiknya diberikan secara hati-hati kepada mereka yang alergi telur, antara lain vaksin influenza, campak dan parotitis.

Bagaimana pula dengan anak yang memiliki riwayat kejang, dan yang menderita Epilepsi, bolehkah tetap imunisasi?
Jangan takut jika memiliki anak epilepsi. Sebab, anak yang menderita epilepsi tidak ada kontra indikasi untuk imunisasi.

Untuk anak yang pernah kejang, memang dianjurkan untuk tidak diimunisasi dengan DTwP, yaitu vaksin DPT yang bisa menyebabkan demam. Anak diimunisasi dengan DtaP (DPT yang tidak menimbulkan demam) atau vaksin DT (tanpa komponen Pertusis).



Written by Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D

Imunisasi: yang Wajib Jangan Sampai Tertunda

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), imunisasi terbagi dua; imunisasi wajib dan imunisasi yang disarankan. Padahal, baik imunisasi yang diwajibkan atau yang disarankan sama-sama pentingnya. Itu semua hanya istilah saja. Disebut imunisasi wajib, karena penyakitnya masih sering ditemui di Indonesia, sehingga pemerintah mewajibkan untuk memberikan imunisasi. Disamping itu imunisasi yang diwajibkan diberikan secara gratis jadi harus dilakukan.

Imunisasi BCG
Salah satu imunisasi yang diwajibkan adalah BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Vaksin ini berfungsi agar badan memiliki kekebalan aktif sehingga tidak mudah terserang penyakit TBC. Kuman ini dapat menyerang berbagai organ tubuh, seperti paru-paru (paling sering terjadi), kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak (terberat).
Biasanya, imunisasi BCG ini cukup diberikan sekali seumur hidup, tak perlu diulang (booster). Tepatnya, ketika bayi berusia 0-2 bulan. Karena dalam vaksin ini berisi kuman hidup, sehingga antibodi yang dihasilkan tinggi terus. Berbeda dengan vaksin yang berisi kuman mati, sehingga memerlukan pengulangan.
Kekebalan BCG bisa juga didapat dari sang ibu, ketika bayi masih dalam kandungan. Namun, begitu bayi berumur dua bulan, kekebalan pasif dari ibunya tersebut akan berangsur menghilang.
Namun yang harus diingat, jika sang buah hati terlambat diimunisasi BCG, dia harus melakukan tes Mantoux (tuberkulin), untuk mengetahui apakah sang bayi sudah tertular kuman Mycobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil tesnya negatif. Jika hasilnya positif TBC, maka suntikan BCG tak perlu diberikan. Penyakitnya saja yang diobati, setelah sembuh tubuh yang bersangkutan akan membuat zat anti dan kemungkinan besar tidak akan terkena lagi.
Imunisasi BCG dikatakan berhasil apabila muncul bisul kecil dan bernanah di daerah bekas suntikan setelah 4-6 minggu. Tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi panas. Bisul akan sembuh sendiri dan meninggalkan luka parut.
Kalaupun bisul tak muncul, tak usah cemas. Bisa saja karena cara penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu keahlian khusus karena vaksin harus masuk ke dalam kulit. Meski bisul tak muncul, antibodi tetap terbentuk, hanya saja dalam kadar rendah.
Suntikan BCG yang benar adalah yang ditanam di kulit, tidak dalam, dan tidak masuk ke otot. Biasanya disuntikan di lengan kanan atas, meski ada juga petugas medis yang melakukan penyuntikan di paha. Setelah disuntik, permukaan kulit yang menjadi lokasi suntikan akan melendung/membengkak karena suntikannya menyusur kulit itu.
Umumnya tidak ada efek samping setelah penyuntikan. Namun pada beberapa anak timbul pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak atau leher bagian bawah, dan itu akan sembuh dengan sendirinya.
Vaksin BCG ini tidak boleh diberikan kepada anak yang menderita TBC, gizi buruk, dan penderita HIV/AIDS. Pada anak yang mengalami kurang gizi, suntikan BCG ini tak akan "jadi" karena daya tahan tubuhnya kurang bagus. Agar berhasil, vaksinasi hanya bisa diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh baik.

Imunisasi Polio
Penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan virus poliomyelitis. Penyakit ini pernah menjadi momok yang menyeramkan bagi masyarakat Indonesia. Dan baru berakhir pada tahun 1995, lalu belakangan merebak kembali. Masih ada beberapa anak yang menderita penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini.
Virus poliomyelitis ini berkembang biak dalam tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus, lalu masuk ke aliran darah dan akhirnya ke sumsum tulang belakang hingga bisa menyebabkan kelumpuhan otot tangan dan kaki. Bila mengenai otot pernapasan, penderita akan kesulitan bernapas dan bisa meninggal. Itulah sebabnya vaksin polio wajib diberikan kepada anak-anak.

Pemberian Vaksin Polio
Vaksin polio diberikan enam kali yaitu; saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan, dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun.
Cara Pemberian imunisasi polio itu ada dua macam yaitu; OPV (Oral Polio Vaccine), bentuknya adalah tetesan dan isinya adalah kuman polio yang hidup dan IPV (Inactivated Polio Vaccine), bentuknya adalah injeksi dan isinya adalah kuman polio yang sudah dimatikan.
Karena belum dinyatakan sebagai negara bebas polio, di Indonesia pemberiannya dengan OPV. IPV tidak efektif untuk mencegah polio di negara yang belum bebas polio seperti Indonesia.
Anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di atas 38°C), muntah atau diare, penyakit kanker atau keganasan, HIV/AIDS, tidak boleh diberikan vaksin polio. Begitu juga dengan anak yang sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum, serta anak dengan mekanisme kekebalan terganggu.

ASI Dan Polio
Perlu perhatian khusus dalam pemberian vaksin polio dan pemberian ASI. Sebab, salah-salah malah vaksin yang diberikan tidak bekerja efektif karena ASI menetralisir vaksin polio.
Bagi bayi yang berusia tujuh hari dan diberikan vaksin polio sebaiknya tidak diberikan ASI. Berikan jarak sekitar satu hingga dua jam, agar vaksin bekerja dulu dalam tubuh. Namun, jika bayi berusia lebih dari tujuh hari lantas diberikan vaksin polio, maka tidak ada masalah jika diberikan ASI langsung.
Jika bayi memuntahkan vaksin polio yang biasa diberikan secara oral, sebaiknya jangan lantas menyambungi dengan vaksin. Berikan waktu 10 menit, baru berikan kembali. Tunggu hingga anak tenang. Sebab, biasanya anak memuntahkan vaksin karena tidak suka rasanya dan menyemburkan kembali atau pun muntah ketika diberikan vaksin.

Imunisasi DPT
Pemberian imunisasi ini berguna untuk memberikan kekebalan kepada anak dari penyakit Dipteri (infeksi tenggorokan), Tetanus, Pertusis. Jadi, satu vaksinasi untuk tiga macam penyakit.

Difteri
Dipteri adalah penyakit infeksi pada tenggorokan yang disebabkan oleh kuman corynebacterium diphtheriae.  
Biasanya gejala yang muncul adalah demam tinggi (39-40 derajat Celcius), batuk, tenggorokan sakit dan suara serak, kesulitan bernapas, adanya selaput tenggorokan berwarna abu-abu muda dan saat disenggol gampang berdarah, serta dari luar terlihat leher membesar disertai nyeri. Bahkan, bila dibiarkan saja, bisa menyebabkan komplikasi ke otot-otot jantung.
Bakteri difteri ini bisa ditularkan saat bersin, batuk atau berbicara. Biasanya, masa inkubasinya 1-6 hari. Nah, kalau sudah terkena dipteri, memang ada pengobatannya, tapi biayanya jauh lebih besar dan ada kemungkinan anak akan cacat. Misalnya saja, tenggorokan si kecil musti dilubangi agar dia bisa bernapas lepas. Atau akibat dipteri, pompa jantung anak menjadi lemah.

Pertusis
Pertusis ini disebut juga dengan batuk rejan atau batuk 100 hari dengan masa inkubasi 6-20 hari. Penyakit ini gampang menular lewat udara yang mengandung bakteri bordetella pertussis.
Awalnya, hanya flu biasa, seperti pilek, batuk kering dan demam ringan, tapi lama kelamaan akan timbul batuk yang semakin kuat dan terus-menerus. Saking kuatnya batuk, bisa membuat anak muntah-muntah, mata merah hingga kesulitan bernapas.
Pertusis ini kurang berbahaya ketimbang Dipteri dan Tetanus. Tetapi tetap saja harus menjadi perhatian orangtua. Sebab, bisa menyebabkan pembuluh darah di mata pecah dan mata pun menjadi merah.

Tetanus  
Penyebab tetanus adalah bakteri clostridium tetani. Infeksi tetanus ini terjadi karena luka. Anda musti waspada bila si kecil ada sumber lubang yang terluka, entah itu di telinga, gigi, tali pusat, atau bagian tubuh lain karena bisa menjadi incaran bakteri clostridium tetani.
Gejalanya, kejang otot rahang, kaku di leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang tersebut bisa merambat ke otot perut, lengan dan paha yang menjadi kaku dan menyebabkan kecacatan. Bahkan, tetanus ini bisa mengakibatkan kematian.    

Jadwal Imunisasi DPT 
Pemberian imunisasi DPT dilakukan beberapa kali sesuai usia anak. Untuk bayi (0-12 bulan), ada tiga kali imunisasi pada usia 2, 4, dan 6 bulan atau bisa juga pada umur 3, 4, dan 5 bulan.
Lalu, diberikan imunisasi ulangan pada usia 18 bulan dan diulang lagi pada umur 5 tahun. Saat anak masuk sekolah, anak akan mendapat imunisasi DT pada usia 12 tahun.
Saat anak berusia di atas 5 tahun, dia tidak lagi mendapat imunisasi pertusis, sebab kekebalan akan pertusis sudah terbentuk. Sehingga, pada usia 12 tahun, anak hanya mendapat imunisasi DT (Dipteri dan Tetanus). Untuk anak laki-laki menerima imunisasi DT untuk mencegah infeksi luka, sedangkan anak perempuan mendapatkan imunisasi TT (Tetanus Toksoid) sebagai persiapan kehamilan agar bayinya tidak kena tokso.

Demam Pasca DPT
Namun, orangtua jangan panik jika setelah imunisasi DPT, anak demam. Kondisi itu merupakan reaksi tubuh terhadap kuman yang dimasukkan. Demamnya berlangsung paling lama dua hari. Ini bisa diatasi dengan obat penurun panas. Sehabis imunisasi DPT, biasanya dokter sudah memberitahukan efek sampingnya.
Kalau si kecil panasnya belum reda juga setelah dua hari, segera bawa buah hati ke dokter. Nah, bagi Anda yang khawatir si kecil kejang karena demam, Anda punya pilihan imunisasi DPT asesular, sejenis vaksin DPT yang Pertusisnya tidak menimbulkan demam.

Penyakit Campak
Penyakit ini hanya dialami sekali seumur hidup. Jadi, jika si kecil terkena campak saat dia masih kecil, maka ketika dewasa dia tidak akan terkena lagi. Begitu juga sebaliknya, jika waktu kecil dia belum pernah sakit campak, maka ada kemungkinan ketika dewasa sang anak terkena penyakit tersebut.
Penyebab campak adalah virus Morbili. Biasanya, penyakit campak ini gampang menular melalui udara atau air ludah penderita yang terhirup lewat hidung atau mulut dan masa inkubasinya sekitar 10-12 hari.
Gejala klinis campak, anak mengalami panas tinggi (39-40 derajat celcius) yang suhunya turun naik selama 3-4 hari. Pada saat panas turun, akan keluar ruam-ruam merah pada tubuh anak yang dimulai dari belakang telinga, lalu turun ke dada, tangan, kaki, dan muka. Setelah 3-4 hari, bercak merah akan semakin banyak dan ada beberapa anak yang mengalami diare.
Nah, jika Anda tahu si kecil terkena campak, harus segera ditangani. Bila tidak, anak bisa saja mengalami komplikasi radang paru-paru (Broncho Pneumonia).

Imunisasi Campak
Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun, antibodi campak yang sudah terbentuk, lambat laun akan menurun dengan bertambahnya usia. Oleh karena itu, anak musti mendapat tambahan vaksinasi campak. Pertama, saat si kecil usia 9 bulan dan yang kedua, saat anak usia 6 tahun.
Pada usia 9 bulan, antibodi campak sudah menurun, padahal campak biasanya menyerang anak usia balita. Nah, bagi anak yang belum mendapat imunisasi campak hingga 12 bulan, bisa melakukan imunisasi MMR (Measles Mumps Rubella) untuk mendapatkan kekebalan terhadap campak.
Biasanya, sehabis menerima imunisasi campak, anak tidak langsung demam. Baru empat atau lima hari kemudian, anak baru demam. Bisa juga timbul ruam-ruam merah sekitar satu atau dua hari. 

Written by Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D

Setelah Imunisasi Kok Malah Demam?

 
Tak sedikit ibu yang khawatir akan dampak yang menimpa si kecil setelah imunisasi. Salah satunya, demam pada anak. Nah, bagaimana mengatasinya?

Beberapa waktu lalu, beterbangan kabar burung di masyarakat terkait pemberian imunisasi. Misalnya vaksin polio disebut-sebut dapat membuat anak jatuh sakit bahkan meninggal. Ada pula yang mencurigai imunisasi bisa menyebabkan autisme. Tentu tidak benar. Nah, yang benar seperti apa?
Jangan mudah percaya dengan isu-isu yang beredar mengenai efek samping imunisasi, tanyakan langsung kepada ahli atau dokter anak Anda! Tetap berikan gizi seimbang pada anak, untuk memperkuat sistem kekebalan tubuhnya.

Reaksi KIPI
Kecemasan orangtua akan timbulnya demam pasca imunisasi adalah hal yang wajar. Demam termasuk salah satu Reaksi KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Semua kejadian sakit yang terjadi dalam kurun waktu satu bulan setelah imunisasi disebut dengan Reaksi KIPI.
Pada keadaan tertentu, lama pengamatan bisa mencapai 42 hari sampai 6 bulan. Sebagian besar Reaksi KIPI hanya ringan dan akan mereda dengan sendirinya.
Tapi yang perlu diingat adalah setiap efek samping tidak selalu terjadi pada semua anak. Sifatnya sangat individual. Terkadang orangtua terlalu khawatir setelah melihat anak orang lain diimunisasi kemudian jadi demam. Langsung deh, takut anaknya jatuh sakit juga. Padahal belum tentu reaksinya sama.

KIPI setelah DPT
Jenis imunisasi yang biasanya menimbulkan efek demam adalah DPT (Difteri Pertusis Tetanus). Jika anak demam, berikan obat penurun panas atau parasetamol. Sebab parasetamol mempunyai efek penurun panas dan menurunkan rasa nyeri. Berikan saja kepada anak sesuai dosis yang ada, tidak perlu ditingkatkan. Bila lebih dari tiga hari demamnya tidak turun juga, segera berobat ke dokter. Kemungkinan besar terjadi infeksi lain dan bukan disebabkan oleh imunisasi.
Untunglah kini sudah ada jenis vaksin DPT yang tidak menimbulkan demam, yaitu jenis DPT yang aseluler. Hanya saja harganya masih mahal.
DPT termasuk salah satu imunisasi wajib dari PPI (Program Pengembangan Imunisasi) yang diprogramkan pemerintah. Masih ada empat jenis imunisasi lainnya, yakni BCG (Bacillus Calmette Guerin), hepatitis B, polio, dan campak.

KIPI Setelah BCG
Efek pemberian vaksin BCG, biasanya muncul bengkak di tempat suntikan. Itupun terjadi sekitar enam minggu setelah disuntik. Timbul bisul kecil di daerah bekas suntikan. Tapi, tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi rasa panas. Bisul akan sembuh sendiri dan meninggalkan luka parut.

KIPI Setelah Campak
Pemberian imunisasi hepatitis B dan polio pada umumnya tidak menimbulkan efek samping apapun. Sedangkan vaksin campak memiliki efek samping demam dengan ruam-ruam campak ringan. Timbulnya sekitar satu minggu setelah disuntik.





Written by Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D

Yang Bisa Menunda Imunisasi

Yang Bisa Menunda Imunisasi
  • Panas tinggi, bengkak, kejang, sakit berat
  • Sedang mendapat obat steroid, obat antikanker, radioaktif.
  • Mengidap leukemia, HIV/AIDS.
  • Dalam tiga bulan terakhir mendapatkan transfusi darah atau suntikan imunoglobin.
  • Bayi prematur (sesuaikan dengan jadwal atau mulai saat usia 2 bulan).
  • Bayi demam tinggi dan rewel. Karena imunisasi pada dasarnya memasukkan bibit penyakit ke dalam tubuh serta membentuk antibodi di dalam tubuh. Maka, jika anak sedang demam dan diimunisasi, bisa-bisa penyakitnya bertambah parah.
  • Anak sedang mengonsumsi prednison dosis tinggi. 
Written by Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D

Imunisasi yang Disarankan

Selain imunisasi yang diwajibkan seperti BCG, Hepatitis B, Polio, DPT, serta Campak, terdapat pula yang disarankan. Apa saja jenis-jenis imunisasi tersebut? Adakah akibat fatal yang jika anak tak mendapatkan imunisasi disarankan itu?

Mungkin Anda agak sedikit bingung, mengapa ada imunisasi yang diwajibkan dan ada yang hanya disarankan. Imunisasi seperti Hib, Pneumokokus (PVC), Influenza, MMR, Tifoid, Hepatitis A serta Varisela tergolong ke dalam imunisasi yang disarankan. Hal tersebut terjadi karena vaksin untuk jenis-jenis imunisasi tersebut tidak disediakan oleh pemerintah, sehingga jika ingin melaksanakan imunisasi jenis tersebut harus membayar cukup mahal. Tentu saja hal yang didapatkan dengan cara membayar tidak dapat diwajibkan, karena mengundang korupsi.
Meskipun hanya disarankan, namun ada baiknya jika imunisasi ini diberikan kepada anak. Bukan berarti karena hanya disarankan, maka anak tidak bakal terjangkit penyakit-penyakit ini. Karena itu, jika orangtua mampu, sebaiknya lengkapi imunisasi dengan imunisasi yang disarankan.

Imunisasi MMR
Vaksinasi MMR diberikan untuk meningkatkan ketahanan tubuh anak terhadap penyakit Mumps (gondongan), Measles (campak) dan Rubella (campak Jerman). Diberikan dua kali yaitu pada usia 15 bulan dan 6 tahun.
Vaksin MMR-1 diberikan pada saat usia si kecil 15 bulan. Tapi bila sampai usia 12 bulan si kecil belum mendapatkan vaksin campak, maka MMR dapat diberikan pada saat usianya 12 bulan. Vaksin MMR-2 diberikan pada saat usianya 6 tahun atau mulai masuk SD.

Imunisasi Hib
Imunisasi Hib (Haemophilus Influenzae type b) ini diberikan untuk mencegah penyakit yang dapat berakibat fatal, seperti radang selaput otak (meningitis), radang paru- paru (pneumonia), radang epiglotis (kerongkong/tenggorokan) yang bisa menyebabkan anak tersedak, keracunan darah (septicaemia). Penyakit Hib kerap terjadi pada bayi usia 2-18 bulan atau balita.
Risiko jangkitan paling tinggi di kalangan kanak-kanak berumur dibawah satu  tahun. Bayi yang mendapatkan ASI, akan mendapat terlindung dari penyakit Hib. Meskipun begitu, imunisasi masih diperlukan untuk mendapat perlindungan maksimal.
Penyakit Hib dapat menyebar, jika orang yang dijangkiti batuk atau bersin, dapat pula menular melalui benda-benda yang dimasukkan kedalam mulut. Jangkitan Hib pada selaput otak bisa mengakibatkan kecacatan otak yang kekal.

Pemberian Vaksin Hib
Umumnya vaksin Hib tidak dianjurkan sebelum bayi berumur dua bulan karena belum dapat membentuk antibodi. Vaksin ini diberikan sebanyak 3 kali suntikan di bagian otot paha, biasanya pada saat anak berumur 2, 4 dan 6 bulan. Imunisasi ini diberikan dalam satu suntikan bersama imunisasi Difteria, Pertussis dan Tetanus (DPT). Juga boleh diberikan bersama imunisasi lain seperti imunisasi Hepatitis B.
Imunisasi Hib tidak dapat melindungi anak- anak dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus lainnya. Jadi, mungkin saja anak mendapat jenis lain dari jangkitan radang paru- paru, radang selaput otak atau selesma.
Hingga kini di lebih dari 20 negara, termasuk Australia, Kanada, Selandia Baru, sebagian besar Eropa dan Amerika Serikat, penyakit Hib telah berhasil ditanggulangi dengan menyediakan vaksin Hib dan memasukkannya ke dalam program imunisasi nasional. Namun sayangnya di Indonesia masih menjadi angan-angan belaka.

Imunisasi Tifoid
Imunisasi tifoid ini diberikan kepada anak usia di atas dua tahun dan dapat diulang setiap tiga tahun. Pemberian vaksin ini sangat penting untuk mencegah penyakit tifoid atau demam tifoid.
Virus Salmonella typhosa ini masuk ke tubuh manusia melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi, misalnya jajanan di pinggir jalan atau makanan-makanan yang kurang bersih. Tak heran jika insiden atau kejadian tertinggi penyakit tipus terjadi pada anak usia di atas dua tahun atau pada anak usia sekolah.
Gejala penyakit tipus adalah panas, gangguan pencernaan, dan kalau jika sakit berat bisa terjadi gangguan kesadaran. Jika sakitnya ringan, gejala berupa panas dan gangguan pencernaan. Panasnya khas, biasanya lebih dari tujuh hari. Gangguan pencernaannya biasanya berupa diare, atau malah si anak tidak bisa BAB (konstipasi). Demam umumnya naik turun dan biasanya meninggi pada malam hari.

Pemberian Vaksin Tifoid
Untuk memperkecil risiko terserang demam tifoid maka berhati-hatilah dalam memilih tempat makan dengan memperhatikan standar kebersihannya! Untuk pencegahan, saat ini tersedia vaksin tifoid oral (diberikan melalui mulut) dan vaksin suntik dosis tunggal yang efek sampingnya lebih rendah dari vaksin lama yang harus diberikan dalam dosis dua kali suntik. Kedua vaksin tersebut (oral maupun suntik) sama efektifnya dan memberi perlindungan 65%-75% terhadap tifoid.

Imunisasi Pneumokokus (PCV)
Pneumokokus, termasuk pneumonia (radang paru), meningitis atau radang otak, sepsis (keracunan dalam darah) dan infeksi telinga, kian menjadi ancaman kesehatan di seluruh dunia. Imunisasi PCV dengan vaksin pneumokokus konjungat merupakan vaksin kedua yang digunakan untuk mencegah radang selaput otak (vaksin Hib adalah yang pertama). Dulu vaksin ini hanya dianjurkan untuk dewasa berusia 65 tahun atau lebih dan tidak digunakan pada anak karena tipe vaksin yang terdahulu (polisakarida) tidak bagus digunakan pada anak.
Vaksin ini memberikan kekebalan terhadap tujuh strain bakteri pneumokokus penyebab terbanyak infeksi serius yang disebabkan oleh kuman pada anak. Dapat mencegah infeksi telinga tengah, meningitis, pneumonia (radang paru), dan bakteremia akibat bakteri pneumokokus.

Pemberian Vaksin PCV
Pada saat anak berusia 2 - 5 tahun vaksin jenis ini diberikan sebanyak satu kali. Bayi harus mendapatkan vaksin ini sebanyak 4 dosis, yang diberikan pada usia 2, 4, 6 dan 12 – 15 bulan.
Anak yang berusia lebih tua tidak memerlukan pengulangan dosis sebanyak ini. Konfirmasi dengan dokter anak jika anak anda mulai mendapatkan vaksin pada usia yang lebih tua. Untuk anak berusia lebih dari 5 tahun yang ingin diberikan imunisasi dapat diberikan vaksin pneumokokus polisakarida.
Pada anak yang belum mendapatkan PCV pada umur ≥1tahun, maka PCV diberikan dua kali dengan interval 2  bulan. Vaksin pneumokokus dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lainnya.

Imunisasi Influenza
Imunisasi influenza berguna untuk menahan virus penyebab influenza, bukannya kebal terhadap influenza. Hanya mengurangi demam pada anak apabila terkena influenza yang menyebabkan suhu tubuh anak panas.
Ada 3 macam virus influenza yg dimasukkan dalam vaksin influenza, yakni virus influenza A (2 tipe) serta virus influenza B (1 tipe) sub tipe dari virus tersebut adalah virus h1N1, H3N2, N2N1.

Pemberian Vaksin Influenza
Menurut hasil laporan para ahli yang dipublikasikan dalam Journal of Pediatrics, anak yang hanya diberi satu suntikan vaksin influenza dalam 14 hari atau lebih sebelum influenza terjadi (partially vaccinated) tidak menunjukkan efek yang bermakna atau sama dengan anak yang tidak mendapatkan vaksinasi. Sedangkan anak yang mendapat dua kali suntikan dalam 14 hari atau lebih sebelum terinfeksi influenza (fully vactinated) dapat mencegah terjadinya influenza dan pneumonia hingga 69-87%.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa efektivitas penyuntikan vaksin influenza bagi anak usia 6-23 bulan adalah dua dosis, hal ini sudah direkomendasikan secara menyeluruh untuk dapat mencegah terjadinya berbagai penyakit influenza.

Imunisasi Hepatitis A
Infeksi hepatitis A disebabkan oleh virus hepatitis dan umumnya menimbulkan gejala dimana demam tidak terlalu tinggi, anak akan kuning, lever biasanya membengkak. Yang paling khas, biasanya anaknya akan mual, nggak mau makan, lemas, yang paling menonjol mata anak akan kuning di bagian putih bola mata.
Masa inkubasi penyakit ini 30 hari dan penularannya melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi feces pasien, misalnya makan buah-buahan, sayur yang tidak dimasak atau makan kerang yang setengah matang atau minum dengan es batu yang prosesnya terkontaminasi.
Jadi bisa tertular juga oleh air yang terkontaminasi oleh virus hepatitis A, makanan, atau dari orang yang terkena hepatitis A, misalnya makan sepiring dengan orang yang terkena virus hepatitis A tersebut.
Pengobatannya, anak harus istirahat total, karena virus ini memang tidak ada obatnya, artinya begitu daya tahan tubuh bagus anak akan membaik sendiri.

Pemberian Vaksin Hepatitis A
Untuk pencegahan, vaksin hepatitis A bisa diberikan kepada anak mulai umur dua tahun, diberikan dua kali dengan interval 6 -12 bulan secara intra muskular atau subkutan pada daerah deltoid atau paha.
Umumnya reaksi lokal yang dapat terjadi adalah kemerahan, bengkak dan nyeri di tempat suntikan dapat berlangsung beberapa hari.

Imunisasi Varisela
Gejala penyakit cacar air ditandai dengan demam, mulai dari sedang hingga panas tinggi, kemudian muncul gelembung berisi air pada bagian badan atau dada dulu, dan bisa meluas hingga tangan, kaki atau wajah.
Penularannya lewat percikan air liur (ludah), bukan melalui kontak fisik. Jika seseorang pernah menderita cacar air, maka dia akan memiliki kekebalan dan tidak akan menderita cacar air lagi.

Pemberian Vaksin Varisela
Untuk mencegah penyakit cacar air (chicken pox), diwajibkan oleh America Academy of Pediatric untuk diberikan kepada bayi yang berusia di atas satu  tahun. Sementara itu, IDAI menganjurkan pemberian vaksin tersebut diberikan setelah anak berusia lima tahun dengan dosis 0,5 ml secara subkutan.
Sebenarnya vaksin ini boleh diberikan di atas 1 tahun. Tapi kenyataannya pada usia anak-anak yang lebih muda misalnya usia 1-5 tahun, gejala penyakit ini tidak seberat yang ditemui pada anak di atas usia 5 tahun. Kalau pun panas, panasnya tidak terlalu tinggi, kalau keluar bintik-bintik merah berisi air, tidak sebanyak yang ditemui pada anak di atas usia 5 tahun. Jadi, kalau ada orang tua yang minta anaknya diberikan vaksin ini di atas usia 1 atau 2 tahun ya nggak masalah.

Pasca imunisasi, reaksi yang terjadi dapat berupa lokal dimana terjadi nyeri atau merah pada area penyuntikan (1%), demam (1%) dan ruam papul-vesikel ringan.

Imunisasi HIV
Imunisasi ini belum ditemukan. Kebanyakan perempuan yang terinfeksi HIV belum mengetahui status HIV-nya sewaktu melahirkan, dan baru dicurigai HIV bila bayinya sering sakit atau tidak tumbuh sebagimana mestinya. Kesehatan bayi tersebut paling rentan pada tahun pertama kehidupannya.
Jika bayi tersebut mengidap HIV positif, jangan diberikan vaksin hidup, seperti polio oral, MMR, BCG, dan Varisela. Pada anak-anak yang menderita penyakit berat seperti kanker, leukimia, HIV/AIDS, pemberian imunisasi harus benar-benar mendapat pengawasan dokter. Pemberian imunisasi pada anak seperti ini tidak boleh terlambat lebih dari seminggu. Ini merupakan salah satu cara untuk mencegah agar anak tidak keburu sakit.
Ya, sekali lagi mencegah lebih baik daripada mengobati. Konsultasikan kepada dokter anak Anda imunisasi apa saja yang dibutuhkan oleh buah hati Anda. Ingat! Selalu bawa buku vaksin saat berkonsultasi dengan dokter. Pastikan anak Anda sehat dan tidak demam kala akan divaksinasi. 


Written by Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D

Imunisasi Itu Sangat Penting

Imunisasi Sangat Penting, Namun Jangan Salah Kaprah!
-      Imunisasi Hanya Mencegah, Bukan Mengobati
-      Imunisasi Wajib dan Disarankan Sama Pentingnya

Mulai dari bayi menghirup udara di dunia sampai anak berumur 12 tahun, ia masih memerlukan imunisasi. Diberikan secara bertahap sesuai usia. Benarkah imunisasi bermanfaat? Apa saja jenis imu...nisasi itu dan bagaimana jadwal pemberiannya?

Apa perasaan Anda jika dokter memvonis penyakit si kecil disebabkan kelalaian orangtua mematuhi jadwal imunisasi? Malangnya, kelalaian ini terjadi karena orangtua sibuk bekerja, atau malah menganggap remeh imunisasi ini. Mereka pikir, terlambat sedikit mengimunisasi sang buah hati tak masalah. Padahal keterlambatan – apalagi sampai tidak memberikan imunisasi – bisa menyebabkan kecacatan seumur hidup, bahkan kematian.

Perlu diketahui, sistem pertahanan tubuh bayi sangat lemah, karena imunitas atau daya tahan tubuhnya belum terbentuk sepenuhnya. Ini menyebabkan bayi berisiko tinggi terjangkit pelbagai penyakit. Sebut saja, penyakit polio, TBC, difteria, tetanus, hepatitis A dan B, thypus, influenza, atau cacar air. Jenis penyakit ini dapat dihindari dengan pemberian imunisasi.

Apa Itu Imunisasi?
Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh pada anak usia balita masih sangat rentan. Sistem imun dibagi menjadi dua, yaitu spesifik dan non spesifik.

Disebut sebagai non spesifik karena ditujukan untuk menangkal masuknya zat asing dari luar tubuh yang dapat menimbulkan kerusakan atau penyakit seperti bakteri, virus, parasit dan zat-zat lain yang berbahaya bagi tubuh. Misalnya diare, yang merupakan mekanisme tubuh untuk menolak zat asing masuk ke saluran pencernaan. Selain itu, air ludah mengandung enzim untuk membunuh kuman, atau di lambung terdapat asam lambung, yang juga berguna mematikan kuman.

Sistem imun spesifik dapat diperoleh melalui pengalaman dan secara buatan. Sistem imun dengan pengalaman berarti sebelumnya tubuh sudah pernah terkena penyakit atau setelah tubuh berinteraksi dengan lingkungan. Contohnya, anak yang sudah pernah menderita cacar air, akan kebal terhadap penyakit serupa.

Sedangkan sistem imun secara buatan diperoleh dengan sakit buatan. Hal inilah yang disebut sebagai imunisasi, yaitu memberikan kuman tertentu yang sudah dilemahkan. Tubuh akan mengenal dan memiliki zat antibody terhadap kuman tertentu.

Ada dua jenis vaksin, yaitu vaksin hidup dan mati. Vaksin hidup berasal dari kuman atau mikroorganisme yang dilemahkan, baik dari bakteri maupun virus. Sedangkan vaksin mati diperolah dari kuman mati. Anak dengan gangguan kekebalan tubuh sebaiknya diberikan imunisasi yang berasal dari vaksin mati.

Imunisasi = Asuransi
Imunisasi itu seperti asuransi. Jika buah hati Anda diimunisasi, maka perlindungan daya tubuhnya akan terjamin. Namun, jika tidak atau lalai diberikan, maka tak ada jaminan perlindungan.

Tapi ingat, bayi yang sudah mendapat imunisasi bukan berati dia akan bebas sepenuhnya dari penyakit. Masih ada kemungkinan terserang penyakit, namun risikonya tidak separah jika tidak mendapatkan imunisasi.

Tingkat perlindungan imunisasi berbeda-beda. Sebagian besar anak yang diimunisasi akan terhindar dari penyakit tersebut, tetapi tidak seratus persen.

Prinsipnya, begitu bayi lahir ke dunia, dia sudah memiliki kekebalan tubuh yang didapat dari sang ibu. Atau bisa juga didapat secara alami, yakni pada waktu si kecil sembuh dari sakit. Inilah yang dikatakan imunisasi pasif. Sedangkan vaksin yang biasa diberikan ke tubuh anak melalui suntikan atau oral, disebut imunisasi aktif. Namun kondisi setiap anak berbeda. Jadi, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan berikanlah imunisasi aktif.

Imunisasi Pertama: Sebelum Usia 12 Jam
Sebaiknya, bayi diimunisasi sebelum usia 12 jam dengan vaksin Hepatitis B. Setelah itu imunisasi polio yang diberikan saat bayi dipulangkan. Imunisasi berikutnya dilanjutkan sesuai jadwal, bisa mengikuti Puskesmas ataupun rekomendasi dokter anak.

ASI Bukan Imunisasi
Walau ASI meiliki zat antibodi, bukan berarti ASI bisa menggantikan imunisasi.
Sebab, antibodi (imunoglobulin) yang terdapat dalam ASI bersifat umum, tidak spesifik untuk penyakit tertentu. Secara umum, anak yang diberikan ASI lebih tahan terhadap berbagai penyakit.

Sedangkan imunisasi bersifat spesifik untuk penyakit tertentu. Karena, penyakit yang bisa dicegah adalah penyakit yang sudah diberikan imunisasinya ke anak. Imunisasi Hepatitis B hanya melindungi terhadap penyakit Hepatitis B, tidak terhadap hepatitis A ataupun penyakit lain. Bayi yang tidak diimunisasi, tidak memiliki antibodi spesifik sehingga mungkin terkena penyakit-penyakit imunisasi, yang rata-rata fatal.

Persiapan Sebelum Imunisasi
Lantas, apa saja yang harus dipersiapkan orang tua sebelum pemberian imunisasi? Ada tiga hal penting, yaitu ikut imunisasi sesuai jadwal, kondisi dan riwayat kesehatan anak dan konsultasi ke dokter.

Jika pada waktu yang telah ditentukan, si kecil sedang menderita demam, batuk pilek atau mencret, sebaiknya pemberian imunisasi ditunda terlebih dahulu. Tanyakan kepada dokter yang biasa menangani, kapan anak bisa dibawa kembali ke Rumah Sakit untuk diberikan imunisasi.
Pada anak-anak yang menderita penyakit berat seperti kanker, leukemia, HIV/AIDS, pemberian imunisasi harus benar-benar mendapat pengawasan dokter. Mereka yang mengalami gangguan kekebalan tubuh tidak boleh diberikan vaksin hidup. Sebab kuman yang tadinya lemah, menjadi kuat di tubuhnya. Akibatnya anak bisa tambah sakit.

Tepati Jadwal
Jangan pernah menunda-nunda pemberian imunisasi. Walaupun tidak menimbulkan risiko yang parah, kebanyakan ibu masih sering lupa jadwal imunisasi anaknya dan menganggap remeh. Begitu pula jika kondisi anak tidak memungkinkan atau sedang sakit, segera obati sakitnya. Supaya jadwal imunisasinya tidak mundur terlalu lama. Usahakan tidak lebih dari seminggu!

Efek Imunisasi
Banyak orangtua panik tatkala sang buah hati panas seusai imunisasi. Misalnya BCG, imunisasi ini mengakibatkan si kecil mengalami pembengkakan kecil dan merah di tempat. Luka ini akan sembuh dengan sendirinya dan meninggalkan luka parut kecil.

Vaksin DPT, bayi akan menderita panas setelah mendapat imunisasi ini. Panas ini akan turun dan hilang dalam waktu 2 hari.

Untuk vaksin campak, ada kemungkinan anak mengalami panas, kadang disertai kemerahan 4-10 hari setelah imunisasi. Sedangkan imunisasi polio dan hepatitis A biasanya tidak menilmbulkan efek samping.

Kalau Sekolah Mengadakan Imunisasi
Orangtua musti mengikuti jadwal imunisasi yang dikeluarkan Ikatan Dokter Indonesia (IDAI). Biasanya, di sekolah diadakan program imunisasi, seperti DPT dan polio, ulangan. Jika memang sudah diimunisasi oleh dokter, tidak usah diberikan lagi di sekolah.

Untuk penyuntikan di area berbeda, ia menegaskan tidak ada dampak. Sebab, biasanya imunisasi disuntikkan di area lengan atas dan paha atas, bukan jaringan dalam kulit.
Yang harus diingat, ketika anak habis diimunisasi berikanlah makanan yang banyak mengandung protein,vitamin, mineral, dan banyak minum air.

Written by Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D